Kisah Kecil Seorang Pemudi di Suatu Sore yang Panas Namun Gerimis

Juliastrioza
2 min readMay 23, 2022

Ada satu rumah khas, di sebuah kabupaten, dapat dikatakan itu ialah rumah adat yang setiap manusia yang memilikinya enggan untuk memperbaikinya. Tiap-tiap dari mereka saling menolak untuk memulai melakukan perbaikan, revitalisasi mungkin istilahnya.

Rumah adat itu, dihuni oleh seorang pemudi, mau masuk usia dua puluh tiga tahun. Kesehariannya adalah membersihkan rumah yang sudah ditinggalkan pemilikinya itu.

Kadang kala si pemudi itu mengeluh karena dia tak mampu lagi mengurusi rumah itu yang semakin waktu makin reot. Di saat yang bersamaan para pemilik rumah belum ada niat untuk melakukan perbaikan.

Terik matahari, terus menghantam rumah yang sebagian besar dibuat dari kayu itu. Selepas itu, langit mencurahkan air dari badannya. Begitu yang terjadi setiap waktu. Dari satu terik menuju hujan badai. Kondisi itu bukan tidak dilaporkan oleh pemudi itu. Malahan, dia sudah hampir menangis mengurusi rumah itu. Berkali-kali dia berkata, dia telah gagal memenuhi keinginan si pemilik rumah.

Sekujur tubuhnya mulai terasa menolak untuk membereskan rumah itu. Meskipun jiwanya yang terdalam yang suci itu tidak mau menyerah. Dia masih kokoh, kuat, dan tangguh, terpatri dalam jiwanya, rumah itu mestilah ia jaga dan rawat. Walaupun dia dihadapkan pada realita, manusia pemilik rumah itu saja acuh tak acuh dengan kondisi yang ada.

Orang-orang yang lalu lalang di depan rumah, bukan saja sudah mencemoohnya namun sudah menjadikannya gunjingan ke mana saja. Sampai ke pelosok-pelosok yang tak terpikirkan sama sekali. Sesekali pemudi itu berjalan melintasi kampung ke kampung, tahulah dia, namanya diketahui orang banyak. Tua muda, hingga bocah-bocah yang terpaut usia jauh dari padanya. Dia dikenal sebagai seorang pemudi yang gagap. Bukan gagap sebenar gagap, tapi gagap tak kunjung kuat mengambil keputusan.

Dia kaget, lantas menangis. Diingat-ingatnya apa yang masyarakat katakan. Suruhan untuknya agar keluar dari rumah itu dan cepat menikah terjalin amat banyak. Hampir semua orang menyuruh itu. Yang paling ekstrim, ada orang yang memintanya untuk melaporkan manusia-manusia pemilik rumah kepada polisi karena sudah menganiayanya.

Kesudahannya, pemudi itu terpekur di suatu sore. Diingatnya lagi apa yang memang tertanam kuat di kepalanya. Sebuah kenang-kenangan yang kepalanya tidak bisa abaikan dan lupakan. Bagaimana dia diasuh dan dirawat dari semenjak kecil di rumah itu. Dia bukan siapa-siapa. Tidak jelas asal usulnya. Tiba-tiba masuk ke sebuah rumah adat megah, milik seorang datuk terpandang di masa itu.

Tidak diduganya, air matanya mengucur deras. Lama dan entah kapan akan berhenti. Sore terus saja berlanjut. Seakan-akan masa yang paling lama tiga empat jam itu, terasa lima atau enam kali lipatnya. Dan selama itu pula sang pemudi menetaskan air matanya. Membiarkannya mengalir, membasahi segenap lantai kayu rumah adat itu. Dia berharap, air mata itu dapat menyapu semua kepiluan, kekisruhan, atau bahkan menghapus setiap ucapan-ucapan buruk yang masuk ke telinganya.

Dia harus tetap di sana. Bukan karena dia tidak punya rumah. Dan bukan karena apapun. Namun, karena jasa seseorang yang tak mungkin bisa dia balas. Kalaulah utang uang bisa dilunaskan, kalau utang budi?

--

--