Manusia dan Sifatnya

Juliastrioza
2 min readMay 30, 2022

Ketika Sederet Keunggulan Manusia Hanya Sekadar Konsep yang Tak Kunjung Lumat Dikunyah!

Setelah lebih kurang 5 hari tidak menulis, maka kesimpulannya saya belumlah dapat dikatakan sama sekali tengah berjalan menjadi seorang penulis. Masih amatlah jauh dan panjang jalan perjuangan ini. Meskipun semangat itu tetap ada, karena semangat itu di dalam jiwa. Dia tidak kecil, jadi tak perluku jaga. Karena kami saling menjaga.

Apa yang terpikirkan kini adalah tentang manusia. Insan, penggubah semua yang ada di alam semesta. Sederet kelebihannya, rasanya telah tidak terbantahkan lagi. Malahan jika dipupuk sedari awal, manusia bisa menjadi pribadi yang benar-benar menakjubkan marwahnya.

Namun, realitanya manusia-manusia mempesona itu jumlahnya amatlah sedikit. Yakni orang-orang dengan kemampuan yang setara dengan lima bahkan sepuluh orang atau bahkan lebih lagi. Ingat kisah Nabi Musa? Seorang diri mengangkat batu besar yang sekumpulan orang pun tak mampu menggesernya.

Manusia terpilih atau membuat dirinya dipilih. Mungkin hanya ada satu dari 1 juta orang. Atau cuma terlahir sekali dalam seratus tahun bahkan lebih panjang lagi. Selebihnya? Adalah manusia yang gagap dengan problematika. Linglung dengan keperluan diri sendiri. Kehidupannya hanyut dan kacau karena segala urusan yang melingkupinya. Siang dan malam persoalan datang bertubi-tubi, dia mengeluh lantas kalah, tak berdaya.

Emosinya gampang terpantik. Sedikit saja tersinggung, sederatan kata-kata kotor meluncur deras, seperti sungai Aare di Swiss. Soalan sepele saja, mau bertengkar 3 hari 3 malam. Melupakan banyak hal urgen yang harusnya dituntaskan. Merasa paling benar. Jika disalahkan, marah atau berkecil hati. Ragu dan takut dengan tantangan, meskipun itu untuk kebaikan. Digertak sedikit, hilang kepedulian. Ketika di atas, lupa yang ada di bawah. Ingin disorot sendiri. Ingin bekerja sendiri. Ingin dihargai sendiri. Dikelilingi puja dan puji.

Ujungnya, kehidupannya hanya berkelok dan berputar pada delapan sudut kesuraman. Yakni, senang berkeluh kesah, mudah berdukacita, lemah kemauan, pemalas akut, pengecut, kikir, banyak dan suka berutang, serta zalim pada diri sendiri dan orang lain. Dampaknya, malam sudah tidak lagi menjadi pakaian. Tidur tak lagi menjadi ritual agung bernama istirahat. Siang loyo serta miskin ide dan gagasan. Hendak ke mana lagi arah dan tujuan?

Seorang manusia, sesungguhnya telah datang untuk mengingatkan kaumnya perihal keseluruhan ini. Namun, memang banyak yang melupakan bahkan mendustakan. Jika terlampau jauh, usahakanlah selalu untuk berkelok menuju ajaran sang pengingat dan pemberi kabar gembira itu!

Salam,

Penulis, yang berusaha konsisten. Masih belajar tentang kekuatan kata dan cara memantiknya.

--

--